Pertama:
Belajar melibatkan seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak hanya menggunakan “otak” (sadar, rasional, “otak kiria” dan verbal), tetapi juga melibatkan seluruh tubuh/pikiran dengan segala emosi, indra dan syarafnya.
Kedua:
Belajar adalah berkreasi, bukan mengonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diserap oleh pembelajar, melainkan sesuatu yang diciptakan pembelajar. Pembelajaran terjadi ketika seorang pembelajar memadukan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar secara harfiah adalah menciptakan makna baru, jaringan saraf baru, dan pola interaksi elektrokimia baru di dalam sistem otak/tubuh secara menyeluruh.
Ketiga:
Kerjasama membantu proses belajar. Semua usaha belajar yang baik mempunyai landasan sosial. Kita biasanya belajar lebih banyak dengan berinteraksi dengan kawan-kawan daripada yang kita pelajari dengan cara lain mana pun. Persaingan di antara pembelajar memperlambat pembelajaran. Suatu komunitas belajar selalu lebih baik hasilnya daripada beberapa individu yang belajar sendiri-sendiri.
Keempat:
Pembelajaran berlangsung pada banyak tindakan yang simultan. Belajar bukan hanya menyerap satu hal kecil pada satu waktu secara linier melainkan. Melainkan menyerap banyak hal sekaligus. Pembelajaran yang baik melibatkan orang pada banyak tingkatan secara simultan (sadar dan bawah-sadar, mental dan fisik) dan memanfaatkan seluruh saraf reseptor, indera, jalan dalam sistem total otak/tubuh seseorang. Bagaimanapun juga otak bukanlah prosesor berurutan, melainkan prosesor paralel, dan otak akan berkembang pesat jika ia ditantang untuk melakukan banyak hal sekaligus.
Kelima:
Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri (dengan umpan balik). Belajar paling baik adalah belajar dalam konteks. Hal-hal yang dipelajari terpisah akan sulit diingat dan mudah menguap. Kita belajar berenang dengan berenang, cara mengelola sesuatu dengan mengelolanya, cara bernyanyi dengan bernyanyi, cara menjual dengan menjual. Pengalaman nyata dan konkret dapat menjadi guru yang lebih baik daripada sesuatu yang hipotetis dan abstrak, asalkan di dalamnya ada peluang untuk terjung langsung secara total, mendapatkan umpan balik, merenung dan menerjungkan diri kembali.
Keenam:
Emosi positif sangat membantu pembelajaran. Perasaan menentukan kualitas dan kuantitas belajar seseorang. Perasaan netif menghalangi belajar. Perasaan positif mempercepatnya. Belajar yang penuh tekanan, menyakitkan dan bersuasana muram tidak dapat mengungguli hasil belajar yang menyenangkan, santaidan menarik hati.
Ketujuh:
Otak-citra menyerap infmasi secara langsung dan otomatis. Sistem syaraf manusia lebih merupakan prosesor citra daripada prosesor kata. Gambar konkrit jauh lebih mudah ditangkap dan disimpan daripada abstrak verbal. Menterjemahkan abstraksi verbal menjadi berbagai jenis gambar konkrit akan membuat abstraksi verbal itu bisa lebih cepat dipelajari dan lebih mudah diingat.
Sumber : The Accelerated Learning (Dave Meier)
Minggu, 19 Juni 2011
Prinsip Dasar Accelerated Learning
Oh Guruku Jagalah Emosimu
Siswa Kian Pintar “Mengadu”
Zaman makin canggih. Teknologi bisa membuat seseorang tersenyum gembira atau sebaliknya menangis sedih. Itu sebabnya, kita harus hati-hati menghadapi kecanggihan teknologi, termasuk para guru. Dengan teknologi, salah-salah guru terekspose ke publik karena ‘sebuah kelalaian’ .
Tugas guru adalah mendidik anak bangsa. Mendidik dengan sabar dan penuh tanggung jawab, namun tak jarang guru menghadapi situasi yang memaksanya emosional. Kesabaran hilang, yang ada kemarahan.
Kemarahan guru berpotensi muncul di dalam kelas atau pada saat pengajaran berlangsung. Biangnya juga tak jarang karena anak didik. Anak didik ‘nakal’ tidak mengerjakan tugas, gaduh, atau berlaku kurang sopan, ‘menggoda’ emosi guru. Bahkan, kritik atau sindiran anak didikpun bukan tak mungkin memicu retaknya emosionalitas seorang pendidik.
Bob Wall dalam bukunya berjudul “Coaching For Emotional Intelligence”, mengingatkan bahwa seseorang harus pintar mengasah emosi. Menurut Bob, langkah awal mengasah emosi dimulai dengan memahami diri sendiri. Apa saja kekuatan dan kelemahan diri sendiri adalah langkah awal dalam mengasah emosi orang lain.
“Dengan memahami diri sendiri, terutama titik-titik kelemahan yang bisa membangkitkan emosi (negatif) kita menjadi lebih siap, jika dikritik anak buah (atau dalam hal ini anak didik). Lalu reaksi apa yang kiranya muncul: malu, marah, atau defensifkah?” kata Bob.
Pemahaman ini juga perlu diikuti dengan memikirkan pengontrolan diri. Maksudnya, kalau kita tahu reaksi-reaksi yang muncul bagaimana kita mengontrol diri ketika emosi (negatif) itu muncul. Artinya, malu atau marah, itu boleh karena bersifat alami, tapi bagaimana menampilkan kemarahan atau rasa malu dengan cara yang benar.
Menurut Dewi Dewo, dalam tulisannya di aksiguru.org., selain karena faktor nakalnya anak didik, emosi guru memuncak juga bisa terjadi karena beban pekerjaan yang menggunung. Banyaknya materi pelajaran yang harus diajarkan membuat para guru seringkali merasa kehabisan waktu untuk menyelesaikan target paket yang harus diajarkan. Tapi, ini bukan alasan untuk menganggap para murid hanya sekelompok massa yang sama rata.
“Setidaknya, pasti ada satu atau dua murid yang memerlukan perhatian khusus. Anda bisa mulai dengan memperhatikan mereka yang sering menimbulkan keonaran, yang nilainya jelek, yang suka bolos. Bisa jadi, apa yang diperbuat berpangkal pada ketidak mampuan mereka mengungkapkan diri secara tepat.” Ungkap Dewi.
Hindari Kekerasan
Di kelas, emosi sering diidentikkan dengan kekerasan, baik suara (verbal) atau fisik. Ia bisa berbentuk perkataan yang keras, kasar, seronok, atau berbentuk gerak fisik yang tak terkontrol seperti menampar, memukul, menjiwir, menendang, mendorong, dan sejenisnya. Namun emosi pun sebenarnya seperti frekuensi volume suara yang bisa kita naikkan atau turunkan sesuai dengan kemauan mengendalikan omosi diri.
Sebagai seorang pendidik, hal yang sangat vital adalah memanajemen emosi menjadi daya yang positif. Jangan sampai emosi seorang pendidik menjadi bumerang bagi dirinya atau bahkan bagi dunia pendidik secara keseluruhan.
“Guru harus fokus pada tugasnya men-didik. Tapi mendidik itu jangan sampai mem-buat siswa tersiksa, tersakiti atau terani-aya,” ujar Ganjar M.Yusuf, anggota DPRD Ciamis pada media massa, baru-baru ini.
Intinya jelas, guru harus menghindarii perkataan yang bakal menyakitkan anak didik. Melukai perasaannya, atau menghindari perlakuan fisik yang melukai siswa, baik luka hati, termasuk juga luka fisik. Kontrol emosi perlu, jangan sampai maksud baik menjadi petaka karena salah cara. Jangan sampai maksud mendidik jadi salah karena kebablasan emosi.
Kian Gampang Terekspos
Guru yang sopan dan menyenangkan saat mengajar, jumlahnya sangat banyak, namun jarang terdengar ceritanya. Sebaliknya ketika ada satu dua orang guru yang lepas emosi, khilaf memarahi anak didik, sangat gampang terekspos ke publik.
Sekarang anak cenderung lebih banyak punya tempat mengadu. Bila ada masalah di sekolah, selain ke orangtua, juga mereka berani mengadu ke lembaga berwajib atau lembaga kepolisian, atau Komnas Perlindungan Anak, wakil rakyat dan lainnya.
Selain itu, saat ini para siswa sangat dekat dengan teknologi komunikasi dan informasi. Internet dan media massa, menjadi dua hal yang paling mudah digunakan atau ‘dikoneksi “ anak sekolah. Ketika ada hal yang tidak menyenangkan, menyakiti dirinya, merasa diperlakukan tidak adil, anak zaman sekarang lebih pintar ke mana ‘peristiwa atau kejadian itu’ harus dikirimkan. Terlebih mereka pun didukung alat canggih di tangannya, seperti handphone dengan berbagai fitur keren, atau laptop/neetbook, maka akses koneksi ke media menjadi hal yang enteng dilakukan.
Kita tak ingin, kepintaran anak didik kita menggunakan kecanggihan teknologi komunikasi, kian terlihat menonjol ketika ia berhasil ‘sending’ (mengirimkan) file rekaman saat guru berbuat khilap di depan mereka. Jangan sampai, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga.” Hanya karena lemah mengontrol emosi, nama baik diri dan lembaga jadi tercoreng.
(Sumber : tabloid ganesha)